Marak Kasus Klitih; Masihkah Jogja Berhati Nyaman?
Jogjakarta, kota pelajar yang mempunyai slogan “Jogja Berhati Nyaman” kini tidak benar-benar “nyaman” lagi setelah fenomena klitih dan tagar #JogjaDaruratKlitih kembali mencuat di media sosial. Dalam seminggu terakhir, fenomena klitih bahkan sampai terjadi tiga kali yang menyebabkan korban luka serius.
Klitih pada mulanya merupakan kegiatan yang bermkana netral, yakni jalan-jalan atau nongkrong di malam hari. Fenomena tersebut kemudian berubah menjadi negatif, yakni kegiatan agresivitas untuk melukai yang dilakukan antar geng atau komunitas sekolah di Jogjakarta. Para pelaku klitih melaksanakan aksinya semata demi eksistensi geng sekolah atau almamater dan kultur senioritas di sekolahnya.
Dalam wawancara yang dilakukan oleh Putut EA dengan dua mantan pelaku klitih di kanal youtubnya Mojokdotco, Bagus (nama samaran) mengatakan, semenjak tahun 2010 target klitih tidak lagi antar almamater atau geng sekolah, akan tetapi orang umum atau siapa saja yang ditemuinya di jalan. Yang lebih ekstrem lagi, dalam melaksankan aksinya para pelaku klitih menggunakan sajam, sehingga korban sampai terluka parah dan bahkan meninggal dunia.
Fenomena tersebut tentu saja menjadi perhatian serius, mengingat kejadian banyak berlangsung malam hari ketika jalanan mulai sepi. Sedangkan banyak dari kita masyarakat umum yang tetap berkegiatan di malam hari, baik itu para supir ojol, pedangang, atau orang-orang yang baru pulang dari tepat kerjanya.
Dilema yang kemudian timbul adalah, para pelaku klitih masih dalam usia remaja (dibawah 18 tahun) yang berarti belum bisa dipidana. Dalam hal pidana anak (dibawah 18 tahun) dikenal dengan istilah diversi yaitu pengalihan penyelesaian perkara. dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Diversi dapat dilakukan atas persetujuan korban. Hasil Kesepakatan Diversi dapat berbentuk: perdamaian dengan atau tanpa ganti rugi; penyerahan kembali kepada orang tua/wali; keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan; atau pelayanan masyarakat.
Dan dalam beberapa kasus misalnya, para pelaku klitih yang tertangkap hanya diharuskan wajib lapor selama tiga bulan di kepolisian. Hal tersebut tentu saja tidak setimpal dengan kejahatan yang dilakukannya hingga membuat orang terluka, bahkan meninggal dunia. Penanganan atau punishment tersebut tentu tidak akan menimbulkan efek jera kepada para pelaku.Dengan demikian, besar kemungkinan pelaku akan mengulangi perbuatannya di kemudian hari, dan begitu seterusnya sampai menjadi kultur yang sulit untuk dihilangkan.
Solusi yang mungkin bisa dilakukan untuk setidaknya meminimalisir tindakan klitih ialah peran optimal dari pemerintah sebagai pemangku kebijakan bersama dengn aparat kepolisian untuk membuat sebuah peraturan yang dapat menimbulkan efek jera, serta melakukan pembinaan dan pendekatan pada anak-anak di usia SMP dan SMA. Kedua ialah peran masyarakat secara luas dalam membangun lingkungan yang aman. Kemudian yang terakhir dan yang paling penting ialah peran dan pengawasan orang tua terhadap anak.
TERBARU
Memahami Meta-Analisis: Pengantar Metode..
- 30 Juni 2024 13:11
Memahami Meta Analisis: Model Effect size Meta..
- 30 Juni 2024 13:08
Pentingnya Mengetahui Cara Menghapus Lokasi di..
- 30 Juni 2024 13:01
Trik dan Tantangan dalam Menerjemahkan Karya..
- 30 Juni 2024 12:58
TRENDING
Refleksi Pendidikan Indonesia Tahun 2023: Dari..
- 25 Desember 2023 13:00
Memahami Meta Analisis: Model Effect size Meta..
- 30 Juni 2024 13:08
Ringkasan Situasi Saat Ini Invasi Rusia Di..
- 03 Maret 2022 13:00
Mahasiswa UM Ciptakan Modul Ajar Aswaja Berbasis..
- 04 Juli 2024 16:00
Memahami Meta-Analisis: Pengantar Metode..
- 30 Juni 2024 13:11